Adalah terlalu berlebihan apabila seorang profesional dianggap tahu betul mengenai permasalahan-permasalahan  yang berkaitan dengan profesinya. Seorang pengacara pasti akan mengadakan penelitian mengenai permasalahan yang sedang dihadapi kliennya, sehingga bisa membantu memberikan solusi profesional atas permasalahan kliennya. Setiap profesi punya keterbatasan dalam mengelola permasalahan klien yang terkait profesinya. Namun, orang menjadi tidak maklum apabila yang terbatas itu adalah profesional kesehatan terutama dokter. Berikut contoh diskusi yang pernah saya lakukan bersama seorang laki-laki muda dengan demam tinggi mendadak satu hari, mual, sedikit nyeri ulu hati, dan gejala influenza yang sangat ringan.

“Mas, saya rasa anda bisa pulang. Saya akan resepkan obat untuk mengurangi demam dan nyeri ulu hati. Apabila sampai hari ketiga anda masih demam, silakan periksa darah rutin anda ke laboratorium di lantai dua dengan pengantar yang saya siapkan hari ini. Bila sebelum hari ketiga ada gejala-gejala lain yang mengkhawatirkan anda, jangan ragu untuk kembali ke RS. Kita hidup di daerah dengan endemisitas dengue, orang bilang demam berdarah, yang tinggi sehingga demam tinggi mendadak satu hari seperti anda ini kami perlakukan pengawasan seperti halnya orang dengan infeksi dengue. Apakah ada pertanyaan?”

“Jadi saya kena DeBe, dok?”

“Kemungkinan ke arah sana ada, namun demam pada hari pertama seperti ini sangat sulit disimpulkan ke arah mana sakitnya.”

“Apa tidak bisa dicek darahnya sekarang, dok, biar tahu sekalian penyakitnya?”

“Kami ada pemeriksaan NS1 antigen untuk DeBe yang cukup sensitif pada demam hari pertama, namun masih cukup mahal. Bila hasilnya positif, kemungkinan besar anda memang DeBe karena spesifisitasnya sekitar 98% pada demam hari pertama. Sensitivitasnya pada demam hari pertama sekitar 95%, sehingga ada sekitar 5% orang dengan DeBe yang darahnya negatif dengan pemeriksaan ini pada demam hari pertama. Ditambah lagi, sebenarnya yang perlu diawasi ketat pada DeBe adalah tanda-tanda kegagalan pembuluh darah mengantarkan oksigen, disebut dengan syok dan resiko perdarahan yang dibantu dengan pemantauan angka trombosit dalam darah. Perburukan ini hampir selalu terjadi di atas hari keempat.”

“Artinya apa, dok?”

“Artinya apapun hasilnya, bila demam masih ada pada hari ketiga, anda tetap memeriksakan darah rutin seperti yang saya tulis pada pengantar.”

“Jadi sebenarnya tidak ada gunanya saya memeriksakan darah hari ini? Sudah mahal, tetap harus ditusuk lagi nanti hari ketiga?”

Saya mesti jawab apa pada perkara ini? Kalau dijawab tidak ada gunanya, saya menyepelekan salah satu penunjang diagnostik yang penting. Kalau dijawab ada gunanya, pasien tidak merasakan langsung manfaatnya. Nah, apa jawaban saya waktu itu, biarlah itu jadi rahasia pelarisan saya (hehehe). Kita akan kembali pada judul di atas.

Percakapan yang dikembangkan pasien saya tadi di atas sangat manusiawi. Orang datang ke dokter untuk mengetahui apa yang salah pada tubuhnya, dan apa yang bisa dilakukan untuk membuatnya kembali seperti sedia kala. Pada keadaan-keadaan klinis tertentu yang sangat jelas tanda dan gejalanya misalnya serangan asma, perkara ini menjadi mudah bagi dokter dan bagi pasien. Namun apabila tanda dan gejala itu tidak cukup untuk menyimpulkan apa patologi (penyakit) utamanya, pasien pasti mau tidak mau akan mempertanyakan kompetensi dan kredibilitas dokter yang ada di hadapannya.

Klinisi, dokter yang melayani pasien di klinik (IGD, klinik rawat jalan, rawat inap, dll) secara purna waktu menghadapi permasalahan keterbatasan ini. Kami selalu mengumpulkan sebanyak-banyaknya data, dan memikirkan sebanyak-banyaknya penyakit yang MUNGKIN ada pada pasien yang kami hadapi. Satu persatu kami singkirkan penyakit-penyakit yang kami pikirkan itu dengan penajaman wawancara, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang perlu, misalnya pemeriksaan darah dan pencitraan.

Akhirnya hanya akan ada beberapa atau syukur satu saja kemungkinan patologi yang ada pada pasien itu. Apabila ada beberapa kemungkinan dalam jumlah kecil, kami harus menimbang-nimbang lagi, apakah benar diperlukan pemeriksaan penunjang lain lagi untuk mencari mana yang paling mungkin sebagai patologi pada pasien tersebut. Sampai pada titik ini kami akan memperdebatkan dalam benak kami apakah biaya dan waktu yang diperlukan sepadan dengan hasil yang diperoleh. Apabila tidak, kami akan pilih saja satu di antara beberapa yang paling mungkin tadi dan patologi itulah yang kami terapi.

Dalam proses menyingkirkan patologi-patologi yang mungkin tadi, kami selalu meragukan data yang satu dengan yang lain. Dengan meragukan data, kami terangsang melakukan cross-check, membuat kesimpulan-kesimpulan sementara, dan dengan demikian mulai menyingkirkan satu demi satu kemungkinan patologi.

Tentu proses ini jauh lebih cepat dilakukan. Lebih cepat dibandingkan waktu yang diperlukan untuk mengetikkan tulisan ini. Semakin berpengalaman dan semakin sering seorang dokter belajar akan sangat menentukan kecepatan ini.

Namun permasalahan tidak berhenti sampai di sini. Setelah terapi dimulai, kami akan melakukan tindak lanjut. Ada kemungkinan terapi tersebut tidak membawa hasil yang kami harapkan atau hasilnya tidak sebesar yang kami harapkan. Bila ini terjadi, kami akan mulai meragukan berbagai hal lagi. Hal pertama yang kami ragukan adalah patologi atau penyakit yang kami simpulkan. Kami ulang lagi semua proses berpikir, apakah ada yang terlewat, apakah ada yang dapat kami pertajam, apakah perlu pemeriksaan penunjang lagi. Hal kedua tentu berkaitan dengan terapi. Apakah terapi sudah dilaksanakan sesuai dengan prinsip terapi patologi tersebut, ataukah ada terapi lain yang dapat dilakukan untuk mempercepat tercapainya hasil yang diharapkan. Proses meragukan ini kembali kami lakukan dengan tujuan yang sama dengan di atas.

Ada kalanya proses ini berhenti bila terapi untuk beberapa penyakit yang paling mungkin tersebut sama saja. Apabila ini yang terjadi tentu saja terapi langsung diberikan tanpa perlu mencari betul apa patologinya. Pasien tidak perlu terbeban dengan biaya yang tidak perlu, dan tidak perlu menghabiskan lebih banyak waktu untuk mencari patologinya kalau ternyata strategi terapinya sama saja.

Dilema yang dihadapi adalah, pasien selalu bertanya, “saya sakit apa” dan “kapan saya sembuh”. Kadang pertanyaan ini menjadi tidak realistis dan menuntut. Tidak realistis karena maunya proses dengan dokter selesai secepat mungkin dengan biaya semurah-murahnya namun mengharapkan hasil secepat-cepatnya. Menuntut karena merasa telah memberikan imbalan jasa medis dan membeli obat-obatan namun merasa tidak sembuh. Tidak realistis dan menuntut ini karena pada waktu sakit, kita tidak lagi menghargai proses. Mengesampingkan fakta bahwa penyakit sampai dengan menimbulkan keluhan pasti membutuhkan waktu, dan bahwa tidak mungkin sesuatu yang tumbuh dengan waktu dibabat habis dalam sekejap.

Begitulah. Saya berharap proses yang kami lakukan sebagai dokter ini diketahui banyak orang. Untuk bisa mensintesis berbagai proses itu kami belajar mulai dari dasar, dan perlu waktu seumur hidup untuk selalu berkembang dan bertambah baik. Dan dengan belajar itulah kami jadi tahu berbagai penyimpangan yang mungkin terjadi, menyesuaikan dengan kondisi pasien. Tidak ada yang instan, dan tidak ada yang mudah. Tidak semua mengi yang kami dengar dengan stetoskop itu adalah serangan asma. Tergantung pada frekuensi dan amplitudo mengi (wheezing), usia pasien, sejarah terapi sebelumnya, dan masih banyak lagi. Sama juga dengan kebiasaan kami yang selalu meragukan pasien yang datang dengan tekad bulat bahwa dia sakit TIFES dengan menunjukkan hasil lab widal dengan nilai tertentu pada demam hari ketiga.  Tidak ada yang semudah itu dalam menentukan patologi pada seorang pasien.

Ragu-ragu setiap waktu itu artinya tidak banyak tahu. Namun meragukan sesuatu kesimpulan berdasarkan fakta-fakta ilmiah dan hasil sintesis berpikir itu sehat, karena itu membuat kami makin tajam. Dokter yang baik tahu kapan harus mengambil keputusan dan kapan harus meragukan keputusannya kembali.

Dan saat ini saya ragu, apakah saya sudah sebaik itu dalam mengambil keputusan dalam rangka pengelolaan pasien saya.

Ditulis oleh dr. Robertus Arian D. Klinisi. Bekerja di instalasi gawat darurat, intensive care unit, dan bangsal perawatan biasa.